Pertanyaan:
Assalamu'alaikum
Wr.Wb.
pertanyaan yang di ajukan oleh (Pertanyaan Dari: Luqman Amirudin Syarif, luasy-01@plasa.com)
kader muda Muhammadiyah memohon fatwa kepada Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkenaan dengan perkara-perkara
berikut:
1. Bagaimana pandangan
keyakinan (i’tiqad) Muhammadiyah mengenai tanda-tanda hari kiamat, seperti:
Turunnya kembali Nabi Isa as, kemunculan Dajjal dan Ya’juj Ma’juj?
2. Bagaimana
i’tiqad Muhammadiyah mengenai Imam Mahdi yang akan muncul bersamaan dengan
turunnya Nabi Isa a.s.?
Jawaban
1.
Sehubungan dengan pertanyaan No. 1, yaitu tentang
tanda-tanda hari kiamat, kalau tanda-tanda itu diterangkan oleh dalil-dalil
al-Qur’an dan hadis-hadis yang mutawatir, maka Muhammadiyah meyakininya, karena
sesuai dengan manhaj yang dipegang Muhammadiyah, menyangkut soal i’tiqad
(keyakinan), dalilnya harus mutawatir. Turunnya Nabi Isa a.s. pada akhir zaman,
tidak diterangkan oleh al-Qur’an dan juga oleh hadis-hadis yang mutawatir
tetapi oleh hadis shahih saja. Di dalam al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 55 Allah
swt berfirman:
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَىٰ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ
وَرَافِعُكَ إِلَيَّ..
Artinya: “(ingatlah),
ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu
kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku ...”
[QS. Ali Imran (3): 55]
[QS. Ali Imran (3): 55]
Sehubungan
dengan ayat ini, sebahagian mufassir / para ulama berpendapat dengan
mena’wilkan ayat tersebut dengan apa yang diistilahkan mereka dengan “taqdim
ta’khir” (mendahulukan dan mengemudiankan), diberikan arti sebagai berikut:
إِنِّي رَافِعَكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ
كَفَرُوا وَمُتَوَفِّيكَ بَعْدَ أَنْ تَنْزِلَ مِنَ السَّمَاءِ، أَيْ أَنَّهُ
رَفَعَهُ إِلَى السَّمَاءِ حَيًّا بِجِسْمِهِ وَرُوحِهِ وَسَيَنْزَلُ فِي آخِرِ
الزَّمَانِ، فَيَحْكُمُ بِشَرِيعَةِ الإِسْلاَمِ ثُمَّ يُمِيتُهُ اللهُ.
Artinya: “Sesungguhnya Aku (Allah) mengangkatmu kepada-Ku, mensucikanmu dari (tipu daya) orang-orang kafir dan (Aku) mewafatkan kamu sesudah kamu turun dan langit,” artinya bahwasannya Allah mengangkatnya ke langit dalam keadaan hidup jasad dan ruhnya dan kelak dia akan turun pada akhir zaman, lalu dia menghukum dengan syariat Islam kemudian Allah mematikannya.
Pendapat ini
untuk menampung sejumlah hadis shahih yang mengatakan bahwa Isa a.s. akan turun
ke bumi pada akhir zaman, sekalipun hadis-hadis itu tidak sampai kepada derajat
mutawatir.
Adapun
sebahagian mufassir / ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
perkataan “التوفى”
(diwafatkan) adalah الأَمَاتَةُ
اْلعَادِيَةُ yang artinya kematian biasa
(fisik), sedangkan “الرفع”
adalah رَفْعُ
الرُّوحِ وَاْلمَكَانَةِ لاَ اْلمَكَانَ كَمَا قَالَ تَعَالَى فَي شَأْنِ
إِدْرِيسَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًا ,
yang artinya pengangkatan ruh (Isa) dan kedudukannya, bukan tempat (dalam arti
fisik) sebagaimana firman Allah swt mengenai keadaan Nabi Idris a.s.: “Dan
telah kami angkat dia (Idris) dalam kedudukan yang tinggi (mulia)
Dalam masalah
Isa a.s. ini Muhammadiyah condong kepada pendapat yang kedua dan memandang
tidak perlu adanya “taqdim dan ta’khir”, karena tidak ada kerumitan
dalam memahami ayat 55 surat Ali lmran di atas, dengan meminjam ucapan pengarang
Tafsir al-Manar:
إِنَّ مُخَالَفَةَ التَّرْتِيبِ فِي الذِّكْرِ
لِلتَّرْتِيبِ فِي اْلوُجُودِ لاَ يَأتِي فِي اْلكَلاَمِ الْبَلِيغِ إِلاَّ لِنَكْتَةٍ،
وَلاَ نَكْتَةَ هَذَا لِتَقْدِيمِ التُّوُفِّيِ عَلَى الرَّفْعِ إِذْ الرَّفْعُ
هَوَ اْلأَهَّمُ لِمَا فِيهِ مِنَ اْلبِشَارَةِ بِالنَّجَاةِ وَرِفْعَةِ
اْلمَكَانِ.
Artinya: “Bahwa perbedaan tertib (urutan) dalam sebutan itu untuk memberi pengertian tertib dalam wujudnya tidak tampil dalam perkataan yang baligh kecuali karena ada kerumitan, dan di sini tidak ada kerumitan untuk mendahulukan kematian atas pengangkatan, justru pengangkatan itu yang lebih penting karena di dalamnya mengandung berita gembira dengan kemenangan dan tinggi kedudukan itu.”
Mengenai
kemunculan Dabbah dan Ya’juj Ma’juj, hal itu diyakini sepenuhnya oleh
Muhammadiyah karena diterangkan oleh al-Qur’an, masing-masing dalam surat
an-Naml ayat 82 dan dalam surat al-Anbiya ayat 96-97, sekalipun secara mujmal dan mubham tanpa
ada rinciannya. Sedangkan Dajjal, tidak disebutkan dalam al-Qur'an, tetapi
disebutkan dalam hadits-hadits shahih dan hampir mendekati derajat mutawatir,
atau paling tidak bersifat masyhur.
2.
Mengenai pertanyaan No. 2, sebelum kami menegaskan
keyakinan Muhammadiyah terhadap Imam Mahdi yang akan muncul pada akhir zaman,
perlu anda ketahui bahwa paham tentang adanya Imam Mahdi berkembang dalam
kalangan Syiah Imamiyah. Menurut Syiah Imamiyah pada akhir zaman akan datang
seorang khalifah yang adil dari keturunan Ali bin Abi Thalib r.a. dengan
nama-nama Mahdi, yang akan berkuasa di seluruh dunia Islam.
Paham tentang
Imam Mahdi pada mulanya termasuk rekayasa dan strategi Syiah Imamiyah untuk
mengimbangi kerajaan Bani Umayyah yang memerintah dengan penuh penindasan
kepada pengikut Ali bin Abi Thalib pada waktu itu. Sementara menunggu munculnya
Imam Mahdi, maka dunia ini dipimpin oleh tokoh-tokoh spiritual Syiah yang kasat
mata (rijalul qhaib) yang susunannya terdiri dari seorang Quthub atau
Qhaus yang diberi nama Insan Kamil, empat orang Autad sebagai
menteri, tujuh orang Abdal, dua belas orang Nukaba’ dan tiga ratus orang
Nujaba.
Dengan mudah
dapat dibantah bahwa kerajaan batin itu yang dikendalikan oleh orang-orang
kasat mata tersebut (rijalul qhaib) pada hakikatnya tidak ada, itu hanya
imajinasi orang Syiah, tidak bisa diterima oleh akal dan naql (Syara).
Begitu pula dengan Imam Mahdi yang dalam masyarakat Jawa disebut Ratu Adil.
Muhammadiyah tidak meyakini adanya Imam Mahdi, karena tidak berdasar kepada
dalil-dalil yang mutawatir.
Menurut Ibnu
Khaldun, bahwa cerita tentang Imam Mahdi sangat simpang siur sumbernya dari
golongan Syiah, tidak jelas ujung pangkalnya. Soal Imam Mahdi oleh musuh-musuh
Islam dipakai sebagai senjata untuk merusak Islam, seperti adanya klaim dari
Mirza Ghulam, di samping sebagai Nabi juga sebagai Mahdi.
Memang terdapat
beberapa riwayat yang dinilai bertolakbelakang dan ternilai dhaifdengan
kebanyakan riwayat yang membicarakan seputar masalah ini. Riwayat-riwayat yang
lemah dan bertolakbelakang dengan riwayat-riwayat yang kuat itu di antaranya:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا رَأَيْتُمُ
الرَّايَاتِ السُّوْدِ قَدْ جَاءَتْ من قِبَلِ خُرَاسَانَ
فَأْتُوهَا فَإِنَّ فِيْهَا خَلِيْفَةُ اللهِ اْلمَهْدِيِّ. [رواه أحمد]
Artinya: “Diriwayatkan
dari Tsauban, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila kalian melihat
panji-panji hitam datang dari Khurasan maka datangilah meskipun dengan merangkak
di atas es, karena di dalamnya ada khalifah Allah, (yaitu) al-Mahdi.” [HR.
Ahmad]
Dalam sanad
riwayat ini terdapat Ali bin Zaid yang dinilai oleh para ulama kritikus hadits
sebagai dha'if. Bahkan ia banyak memiliki riwayat munkar yang
hanya diriwayatkan olehnya. Jadi keseluruhan periwayatannya tidak bisa
dijadikan argumen. Hadits ini juga digunakan oleh Bani Abbas (Dinasti
Abbasiyah) sebagai justifikasi bahwa al-Mahdi akan muncul dari kelompok mereka,
di mana keyakinan mereka ini bertentangan dengan banyak riwayat yang lebih kuat
bahwa al-Mahdi yang sebenarnya akan muncul dari keturunan Nabi (ahlu bait)
yang mempunyai nama yang sama dengan Nabi dan nama bapak Nabi, Muhammad bin
Abdullah.
Namun demikian,
jika ditelisik lebih seksama ternyata banyak ulama seperti al-Hafizh Abu Hasan
al-Abiri dan Imam asy-Syaukani juga Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu al-Qayim
al-Jauziyah berpendapat bahwa hadits-hadits yang membicarakan tema ini memang
mayoritas derajatnya ahad. Tetapi jika ditinjau secara menyeluruh akan
ditemukan kandungan satu hadits mendukung hadits lain. Baik kandungan khusus
(seperti hadits yang menceritakan ciri-ciri fisik al-Mahdi) maupun kandungan
umum. Terkadang ada hadits yang membicarakan asal usulnya (al-Mahdi) dari
keturunan Nabi saw, lalu ada hadits lain yang menerangkan kondisi kehidupan
saat al-Mahdi memimpin. Jika kita urutkan, maka kita akan dapati semacam
keselarasan yang sama-sama menerangkan bahwa al-Mahdi akan keluar di akhir
zaman (kandungan umum). Dengan demikian dari segi kandungan khusus, maka hadits
semisal yang menerangkan ciri fisik al-Mahdi berstatus ahad, namun dari segi
kandungan umum, maka hadits ini adalah mutawatir ma'nawi. Dan
derajat mutawatir ma'nawi ini telah menjadi ijmak ulama untuk
menerimanya.
Di antara
beberapa riwayat mutawatir ma'nawi itu ialah;
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قالَتْ:
سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
«المَهْدِيُّ مِنْ عِتْرَتِي مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ. [رواه أبو داوود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Al-Mahdi berasal dari keluargaku dari anak Fatimah.” [HR. Abu Dawud]
عَنْ عَبْدِ اللهِ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ لَمْ يَبْقَ
مِنَ الدُّنْيَا إلاَّ يَوْمٌ لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ ثُمَّ
اتَّفَقُوا حَتَّى يَبْعَثَ رَجُلاً مِنِّي أوْ مِنْ أهْلِ بَيْتِي يُوَاطِىءُ
اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أبِيهِ اسْمَ أبِي. [رواه أبو داوود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Seandainya dunia hanya tinggal sehari, Allah pasti akan memanjangkan hari itu sampai Allah mengutus seorang laki-laki dariku, atau dari keluargaku, yang namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku.” [HR. Abu Dawud]
Imam
asy-Syaukani berpendapat; "Hadits-hadits mengenai kedatangan al-Mahdi
al-Muntazhar yang bisa diteliti sebanyak lima puluh. Di antaranya ada yang
shahih, hasan, dan dha'if. Riwayat-riwayat ini mutawatir tanpa
ada keraguan dan kerancuan di dalamnya." (Shadiq Hasan Khan dalam al-Idza'ah:
113-114 menukil dari al-Taudhih fi Tawatur Ma Ja'a fi al-Mahdi
al-Muntazhar wa al-Dajjal wa al-Masih oleh Imam asy-Syaukani).
Berdasarkan
keterangan di atas, kami berpendapat bahwa keyakinan terhadap al-Mahdi
merupakan bagian dari keyakinan terhadap hal-hal ghaib adalah benar menurut
hadis-hadis mutawatir ma’nawi. Akan tetapi, terkait dengan fenomena munculnya
klaim-klaim dari pihak-pihak tertentu yang mengaku-aku sebagai al-Mahdi, maka
kami menyarankan agar umat Islam berhati-hati dan tidak mudah percaya pada
klaim-klaim seperti tersebut di atas yang tidak jelas kebenarannya. Umat Islam
hendaknya bersikap kritis dan terus mengkaji persoalan-persoalan seperti ini
melalui sumber-sumber yang jelas, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah.